Memori Bumbu Sate Daging Sapi

sate

Ramadhan kali ini terasa sedikit berbeda dari Ramadhan sebelumnya. Salah satu perbedaan yang cukup besar adalah ini merupakan Ramadhan kedua tanpa status sebagai PNS sehingga pulang ke Makassar dan balik ke Jakarta tidak lagi berdasarkan jadwal cuti bersama.

Salah satu perbedaan utama lainnya adalah banyak memori masa lalu yang berseliweran dalam pikiran, termasuk mengenang masa-masa lalu saat masih menjalani kehidupan di Makassar dan belum bekerja.

Seperti yang pernah saya tuliskan pada laman Tentang Saya dan Tentang Saya bagian 2, kehidupan saya penuh warna-warni yang cukup akrobatik. Semua berjalan bagaikan bola dan aliran air yang sulit ditebak namun Alhamdulillah selalu ke arah yang lebih baik.

Salah satu nostalgia yang muncul adalah saat melihat penjual sate di pinggir jalan, seperti tulisan saya pada judul Kisah Dibalik Pisang Goreng Keju, maka sate ini juga memiliki kenangan tersendiri.

Saat saya sebelum bekerja dan kondisi ekonomi masih berada pada titik bawah, hidangan sate merupakan salah satu hidangan yang amat mewah dan sulit untuk dinikmati sehari-hari. Hal ini karena harganya yang cukup lumayan untuk kantong keluarga. Dalam setahun, bisa dihitung dengan jari jumlah pembelian sate yang dilakukan untuk dinikmati.

Setiap kali membeli sate, maka jumlah yang dibeli maksimal 10 tusuk. Kalaupun membeli sampai 15 tusuk itu amat langka dan biasanya kalau ada rejeki yang berlebih dari ibu saya.

Satu kalimat yang paling saya ingat sewaktu membeli sate adalah “Daeng, banyak-banyaki bumbuna nah…” tentu saja dengan logat Makassar 🙂

Kenapa minta bumbu yang banyak? Hal ini karena sesampainya di rumah, agar Sate ini bisa dinikmati sampai 2 kali makan (biasanya makan malam dan sarapan pagi), maka setiap orang diberi jatah 1 tusuk untuk malam dan 1 tusuk untuk pagi.

Agar rasa satenya masih bisa dinikmati, maka bumbu sate ditambahkan air putih supaya lebih cair dan dapat lebih dinikmati dengan nasi putih. Jadilah 1 tusuk sate yang berisi 3 potong daging dinikmati perlahan agar habis dengan sepiring nasi. Kerinduan atas rasa satenya dapat terobati dengan kuah sate dan potongan kecil daging sapi disela-sela suapan nasi putih.

Yang nikmat bukan sekedar mensyukuri dapat menikmati sate tersebut, tetapi makan malam dan sarapan pagi sekeluarga diselingi dengan canda tawa dan kebahagiaan 🙂

Ah..indahnya masa-masa lalu…

 

 

 

This entry was posted in Curhat and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.