(Tulisan oleh Bapak Agus Soebandhi)
Belum berapa lama, salah satu harian nasional memberitakan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah atau LKPP menuntut perlakuan sama dengan Departemen Keuangan dan lembaga negara lain yang sudah melakukan reformasi birokrasi untuk mendapatkan remunerasi. Penuntutan diajukan dengan alasan pekerjaan LKPP yang rentan terhadap kasus suap. Remunerasi berdasarkan kamus bahasa indonesia artinya imbalan atau gaji. Dalam konteks reformasi birokrasi, pengertian remunerasi, adalah penataan kembali sistim penggajian yang dikaitkan dengan sistim penilaian kinerja. Dengan remunerasi, diharapkan aspek kinerja dan pelayanan birokrat kepada masyarakat atau publik menjadi semakin baik dan mengurangi (bukan menghilangkan) potensi birokrat melakukan korupsi. Terlihat sederhana, namun apakah korupsi bisa hilang hanya dengan memberikan remunerasi?
Belum berapa lama, salah satu harian nasional memberitakan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah atau LKPP menuntut perlakuan sama dengan Departemen Keuangan dan lembaga negara lain yang sudah melakukan reformasi birokrasi untuk mendapatkan remunerasi. Penuntutan diajukan dengan alasan pekerjaan LKPP yang rentan terhadap kasus suap. Remunerasi berdasarkan kamus bahasa indonesia artinya imbalan atau gaji. Dalam konteks reformasi birokrasi, pengertian remunerasi, adalah penataan kembali sistim penggajian yang dikaitkan dengan sistim penilaian kinerja. Dengan remunerasi, diharapkan aspek kinerja dan pelayanan birokrat kepada masyarakat atau publik menjadi semakin baik dan mengurangi (bukan menghilangkan) potensi birokrat melakukan korupsi. Terlihat sederhana, namun apakah korupsi bisa hilang hanya dengan memberikan remunerasi?
Tugas LKPP menurut Perpres No 106 tahun 2007 adalah melaksanakan pengembangan dan perumusan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sudah jelas bahwa LKPP adalah lembaga yang berfungsi sebagai regulasi, fasilitasi dan supervisi, bukan lembaga yang melaksanakan teknis pengadaan barang dan jasa. Jadi apabila LKPP mengklaim sebagai lembaga yang rentan terhadap suap adalah hal yang terlalu memaksakan diri. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara konon sudah menyetujui pemberian remunerasi kepada LKPP untuk tahun anggaran 2008, namun karena tahun anggarannya habis maka LKPP batal menerima remunerasi. Diperlukan evaluasi mendalam apakah suatu institusi atau pegawai berhak dan layak menerima remunerasi apakah tidak, disamping juga perlu melihat kemampuan keuangan negara.
Keppres 80 tahun 2003, mensyaratkan Panitia Pengadaan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Penyedia Barang/Jasa untuk membuat Pakta Integritas yang didalamnya berjanji (a) tidak akan melakukan KKN (b) melaporkan bila terjadi indikasi KKN (c) melaksanakan tugas secara bersih, transparan dan profesional serta (d) bersedia dikenakan sanksi moral, administrasi dan pidana. Panitia Pengadaan dan PPK merupakan pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap berhasil atau tidaknya proses lelang dan merupakan ujung tombak di lapangan. Tindakan perlindungan terhadap pegawai yang menangani pekerjaan yang rentan terhadap kasus korupsi dengan pemberian remunerasi adalah tindakan yang sangat baik dan patut didukung. Alasan di atas diperkuat dengan data yaitu hampir 80% kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan proses pengadaan barang/jasa pemerintah dan potensi korupsi dan kebocoran dana APBN yang bisa mencapai Rp 60 triliun-Rp 70 triliun.
Kuantitas tanpa kualitas
Menurut data yang dirilis oleh LKPP, bahwa kebutuhan ahli pengadaan untuk nasional adalah 200.000 orang, namun saat ini baru terpenuhi sekitar 65.000 orang atau 32% dari total kebutuhan ahli pengadaan. Rendahnya tingkat kelulusan ujian sertifikasi, memaksa LKPP mengubah sistem penilaian yang semula terdapat pengurangan nilai apabila jawaban salah menjadi tidak ada sama sekali serta membolehkan peserta ujian membuka buku. Dengan diubahnya sistem penilaian tadi, terjadi peningkatan kelulusan yang semula berkisar 5% – 15% menjadi 40% – 50%. Sangat manjur strategi yang diterapkan, namun tingginya tingkat kelulusan seakan tak ada artinya apabila kualitas dan kompetensi yang dihasilkan dipertanyakan. Kuantitas bukan segalanya, apabila hal tersebut adalah semu. Hal ini sudah disadari oleh Departemen Pendidikan Nasional yang telah beberapa tahun terakhir menerapkan batas nilai lulus Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai ambang batas lulus atau Passing Grade yang ditetapkan, secara bertahap dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, dengan harapan mutu lulusan sekolah di indonesia menjadi semakin baik.
Mari berhitung sebentar dan mencoba membandingkan hasil ujian sertifikasi pengadaan barang/jasa dengan metode penilaian menggunakan pengurangan apabila jawaban salah dan tidak boleh membuka buku, yaitu pada bulan januari tahun 2005, Bappenas menyelenggarakan ujian di 52 lokasi dengan jumlah peserta keseluruhan 8.333 orang dan rerata kelulusan adalah 589 peserta atau 7,07%. Sedangkan pada bulan yang sama tahun 2009, dengan metode penilaian tanpa pengurangan apabila jawaban salah dan peserta diperbolehkan membuka buku, LKPP menyelenggarakan ujian di 32 lokasi dengan peserta ujian kesemuanya adalah 3.001 peserta dan rerata kelulusannya adalah 1.312 peserta atau 43,7 %, terjadi peningkatan sebesar 36,63% tingkat kelulusan ujian sertifikasi pengadaan. Mengejar target kuota ahli pengadaan barang/jasa, janganlah ditempuh dengan cara mengabaikan kompentensi dan mutu.
Kebijakan LKPP yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah Surat Edaran 01/SE/KA/2009 tanggal 22 Januari 2009 tentang Perpanjangan Masa Berlaku Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang berakhir pada tahun 2007 dan 2008 diperpanjang secara otomatis selama 2 tahun sehingga masa berlakunya akan berakhir pada tahun 2009 dan 2010. Perpanjangan bukan merupakan solusi yang bijak dan tuntas dalam mengatasi kurangnya jumlah ahli pengadaan di indonesia namun hanya bersifat sementara. Pemberlakuan masa berlaku sertifikat kedalam 3 kualifikasi yaitu L2, L4 dan L5 seakan menjadi seperti kualifikasi label tanpa arti.
Menyongsong rencana revisi Keppres 80 tahun 2003 sebagai embrio lahirnya UU Pelelangan yang masih digodok di LKPP, merupakan babak baru dalam bidang pelelangan. Rencana memasukkan pelelangan ranah swasta dalam regulasi pemerintah, akan semakin meningkatkan akuntabilitas dan transparansi proses pelelangan. Namun sudah begitu banyak regulasi yang ada akan menjadi tiada arti apabila manusia sebagai pelaku utama masih bermental bobrok dan korup. Tiada kata terlambat untuk suatu perubahan menjadi lebih baik.
instansi mana aja sih yang sudah menerapkan remunerasi?
@herman, setahu saya baru Departemen Keuangan yang sudah menerapkan remunerasi
Betul Mas… LKPP itu ada2 saja minta remunerasi!
yang ada digarda terdepan aja (Panitia Lelang) belum tentu bisa mendapatkan hak2nya, kalo teror mesti itu he…he…
sementara tidak ada sanksi buat yang buat aturan keliru, adanya yang menjalankan aturan dengan keliru yang ditangkep !!! jadi banyak yang enggan jadi panitia lelang (nasib…nasib…)
Yang seneng ya…kejaksaan itu (meski gak lulus sertifikat) tukang mriksa ama nakut-nakuti thok!!
yg sudah remunerasi setahu saya DEPKEU, Mahkamah Agung, klo nda salah BPK juga sudah. Menyusul kemudian Polri(sementara)
remunerasi ini apakah diberikan untuk semua PNS yg berada dilembaga tsb?
gw sendiri juga nggak setuju kalo remunerasi, kinerjanya ….. no comment
Mo tanya…. klo PNS di jajaran pemegang jabatan fungsional boleh menjadi panitia lelang, ga? ato apakah hrs PNS yg berada di jajaran struktural saja?
*notes: makasih ya m’Khalid, sy yg sebelumnya sngat buta ttg pengadaan brg jasa alhamdulillah dapat sertifikasi L2. sebelum ujian sertifikasi sy pelajari artikel2 m’khalid ttg pengadaan brg jasa. sangat membantu. great thanx! semoga mendapat imbalan kebaikan berlimpah.. Amiin… 🙂 *
Saya adalah salah seorang PNS yang secara kebetulan 4 thn terakhir duduk sebagai panitia dan atau pejabat pengadaan. Sesuai keppres 80 tahun 2003, yg paling bertanggungjawab dan paling banyak menjadi korban dalam proses pengadaan B/J adalah panitia, antara lain : korban pimpinan jika tidak bisa memenangkan rekanan pimpinan, korban wartawan/LSM, korban oknum kejaksaan/ Tipikor jika ada berita miring dikoran sekalipun itu belum tentu benar. Oknum kedua setelah panitia yang paling bertanggung jawab adalah PPK, karena itu sebelum tender dilaksanakan, panitia/ pejabat pengadaan dan PPK menandatangani pakta Integritas untuk tidak melakukan KKN. Karena itu, melihat tanggungjawab yang dipikul, maka seharusnya panitia/ pejabat pengadaanlah yang harus mendapatkan Remunerasi bukannya LKPP, tetapi yang terjadi saat ini adalah tidak ada patokan insentif yang harus diterima panitia dalam melaksanakan tugas yang berat ini bahkan ada kegiatan pengadaan ratusan juta yang tidak mengalokasikan insentif untuk panitia. Memasuki tahun 2010 dan sehubungan dengan rencana revisi keppres 80 tahun 2003, diharapkan ada standar insentif yang diberikan kepada panitia/pejabat pengadaan dalam melaksanakan tanggungjawabnya, sebagaimana telah diatur untuk insentif PPK dan bendahara, yang disesuaikan dengan besarnya anggaran yang dikelolah.
sangat setuju sekali jika panitia mendapat insentif yang memadai … kerja keras dan pemikiran panitia cm dihargai beberatus ribu per bulannya, kalo ujung tombak nya aja kekurangan … gmana mau kerja dgn hati dingin dan pikiran lurus …,
LELANG DAK PENDIDIKAN
tips panitia aman
tiru aja kab wonosobo
panitia normatif
loyalitasnya pada negara
penyedia jadi hormat
Perpres dan juknis jadi pedoman
Paket pengaadaan di pecah tiap jenis baran
yang besar karena memang sesuai anggaranya
yang kecil karena anggarannya
yang Penunjukan juga karena anggarannya
kontak kami di jitonegoro@ymail.com
siap memberikan konsultasi aman
sesuai landasan hukum
trik menyikapi kepentingan berbagai pihak