“Program RSBI khususnya SMK saat ini tidak sesuai dengan pemikiran saya sewaktu pertama kali merancang program ini”
Kalimat tersebut menjadi pembuka diskusi sekaligus menyentak saya yang sedang asik menunggu pak Kurnijanto dari Cisco Academy bersama beliau di sebuah coffee shop di daerah Jakarta Selatan.
Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan atau disingkat Dikmenjur pada tahun 1998 – 2006 ini kemudian menambahkan, “SMK Internasional sebenarnya bukan dilihat dengan guru yang mengajar bahasa Inggris di sekolah tersebut, tapi dengan target minimal 10% lulusannya mampu bekerja di luar negeri sesuai dengan kompetensi yang diperoleh sewaktu sekolah.”
Direktur Dikmenjur yang masih tetap dapat disebut Direktur Dikmenjur karena saat ini nama institusinya sudah berubah menjadi PSMK ini lalu melanjutkan, “sewaktu merancang program RSBI, saya memiliki keinginan agar minimal 10% pangsa pasar kerja di luar negeri diisi oleh bangsa Indonesia. Coba bayangkan apabila ini terjadi, maka alur devisa akan mengalir ke negara kita, juga tingkat kesejahteraan akan naik pesat, serta jejaring Indonesia akan diperhitungkan di mata dunia.”
Saya manggut-manggut saja mendengarkan penuturan tersebut dan mencoba mencerna, lalu bertanya, “tapi bagaimana dengan kebijakan RSBI saat ini yang terkesan hanya menjadi Sekolah Rintisan Berbiaya Internasional ?”
“Biaya sekolah sebenarnya dapat diperoleh apabila sekolah itu kreatif dan memaksimalkan unit produksi yang dimiliki. Contoh, untuk SMK Pariwisata dapat memaksimalkan hotel training yang dimiliki untuk meneriwa siswa-siswi dari SMK di luar negeri melalui program pertukaran pelajar atau sister scholl. Jadi, pemasukan diperoleh, kerjasama juga dapat tercapai.”
Dari diskusi singkat tersebut saya jadi paham mengenai latar belakang konsep SMK RSBI pada saat itu yang sangat berbeda jauh dengan kondisi saat ini.
Pak Gatot juga bercita-cita, bahwa lulusan SMK itu memiliki komposisi minimal 10% bekerja di luar negeri, 30% bekerja di dalam negeri, 10-20% melanjutkan ke perguruan tinggi, dan selebihnya bisa berwirausaha atau mandiri. Juga, stigma internasional dapat dilekatkan pada sekolah yang bisa mencapai target tersebut.
Program SMK SBI juga tidak ditujukan untuk seluruh jurusan, melainkan pada jurusan atau program keahlian tertentu yang memang dibutuhkan di luar negeri seperti perhotelan, pariwisata, teknologi informasi, perkapalan, dan lain-lain. Bahkan ada satu harapan beliau adalah 10% pegawai hotel di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Almarhum bapak Franklin JH. Nanuwasa telah memulai program tersebut melalui IHS Makassar-nya.
Proses pembelajaran bilingual atau dua bahasa juga tidak perlu diterapkan, yang penting adalah lulusan harus mampu berkomunikasi dengan baik dan benar menggunakan salah satu bahasa Internasional sesuai dengan tujuan dan kerjasama dari sekolah tersebut. Jadi intinya adalah penguasaan terhadap bahasa dari lulusannya, bukan gurunya yang harus mengajar menggunakan dua bahasa. Bukankah hakekat bahasa adalah untuk berkomunikasi ?
Contoh lain dari program Internasional ini untuk jurusan TIK di SMK adalah upaya Pak Gatot untuk memasukkan berbagai sertifikasi Internasional dalam kurikulum pendidikan. Contohnya adalah CCNA. Dengan memiliki kemampuan dan memiliki sertifikat CCNA, seorang tamatan SMK akan mampu untuk bersaing dalam bidang jaringan dengan siapapun di seluruh dunia, karena CCNA di Indonesia itu sama dengan CCNA di Amerika.
Jadi, mengapa justru SBI saat ini justru menjadi “Sekolah Berbiaya Internasional ?”
Mari tanyakan kepada rumput yang bergoyang…
Hmmm … jikalau demikian adanya, mestinya SMK-SMK yang kemudian menjadi SMK RSBI/SBI, merasa malu apabila lulusannya belum seperti yang diharapkan “sang panutan” ini. Apalagi kalau kemudian terbukti, sudah berbiaya tinggi tapi kualitas lulusan rendah.
Btw, “rumput bergoyang” itu artinya hanya bisa mendengar tapi tak bisa bicara, gitu Mas Khalid ? hehe …
Seharusnya demikian pak Pur, juga program ini tidak usah diwajibkan per-daerah. Melainkan didorong bagi mereka yang mampu dan mau, sehingga akan terjadi persaingan kualitas bukan persaingan memperoleh selembar kertas “bertaraf internasional” yang menjadi alasan menarik biaya setingg-tingginya.
“Sekolah Berbiaya Internasional ?” padanannya adalah “Sekolah Bertarif Internasional”.
Aneh tapi Nyata, Kenyataan sekarang dalam 1 sekolah, bisa jadi dalam 1 level dikelompokkan menjadi 3:
1. kelas RSBI
2. kelas akselarasi
3. kelas reguler
pengajar & fasilitas yg dipakai sama
kurikulum hampir sama
salah satu yg jelas membedakan a/pembayarannya
kalau kita amati sekolah yg saat ini berstatus RSBI, sebagian besar meningkatkan pagu penerimaan siswa barunya, dan peningkatan itu tidak dibarengi peningkatan SDM & Sarpras yg signifikan
kedepan kita sama2 berharap semoga “RSBI” tidak hanya sebagai simbol untuk menarik minat masyarakat u/ memasukkan anak2nya di sekolah tersebut, tetapi harus dibuktikan bahwa sebagian lulusannya bisa masuk pasar internasional (kerja atau kuliah di luar negeri)
Wah, pak Rafie sudah lebih dalam mengupasnya 🙂
Tulisan saya di atas baru dalam tataran konsep, tapi kalau kenyataan di lepangan bahwa justru ada “kastanisasi” dalam sebuah sekolah, maka sudah terbukti jargon “Bertarif Internasional” itu adalah benar.
Seharusnya, begitu sebuah sekolah telah ditetapkan Bertaraf Internasional, maka tidak ada penggolongan lagi, melainkan seluruh komponen di dalamnya harus bahu membahu mencapai tujuan itu.
Banyak kesalahkaprahan pelaksanaan RSBI di lapangan. RSBi sebetulnya peningkatan kualitas pendidikan. Kita terjebak dengan kata international yang selalu dikaitkan dengan bahasa Inggris. Lihat semester 5 dan 6 bahasa Inggris di smk hanya kutak-katik nyiapkan TOEIC yang validitasnya sangat tipis menguykur bahasa Inggris anak-anak.
Pingback: SMK RSBI di mata Seorang Perancangnya « Khalidmustafa’s Weblog
Kami sangat mendukung pemikir2 yang memang berdedikasi untuk kemajuan bangsa ini. Kami percaya tujuan akan tercapai dengan process tentunya
Maju terus pak.
Wah kalo demikian saya jadi kecele alias salah sangka tentang RSBI penuturan pak gatot dan mas khalid . kalo itu tujuannyanya ya mohon pada pihak terkait dalam bidang pendidikan berikan sarana dan prasarana yang memadai agar siswa kita lulus jadi plus-plus dan go internasional . kalo bisa awasi dana anggaran yang dilakukan oleh para kepala sekolah baik dari internal maupun eksternal .kalo perlu kepala sekolah harus membuat pertanggung jawaban anggaran kepada para guru …. masyarakat dan media sehingga bisa saling kontrol . Semoga indonesia bisa menjadi lebih baik .????????
mari kita dorong semua SMK menjadi internasional, dan buat lomba berapa banyak lulusannya yg bisa kerja di ln..dan ini ada dalam web mereka masing2 yg terhubung dgn web yg satu rumpun/konsorsium, kita coba saja konsorsium perhotelan…atau konsorsium sekolah penangkapan ikan atau pelayaran?
Insya Alloh, saya berupaya menerapkan cita2 pGHP, yg menurut hemat saya betul adanya. Yth. pGHP, sejauh yang saya ketahui, konsep pengembangan SMK RSBI yg dijalankan sekarang o/ Dit. PSMK masih inline dengan cita2 Bpk, beberapa bahkan sudah dijabarkan o timnya Pak Mustagfirin dan Bu Nur u bagaimana mencapai output RSBI yang bapak cita2kan. Mohon maaf bila dalam pelaksanaannya ada yang belum seperti yang dicita2kan.
SBI kecenderungannya hanyalah untuk siswa/i yang orang tuanya memiliki perekonomian yang sangat mapan. tidak hanya SMK/SMA, SMP/SLTP pun seperti itu. Tidak ada prestasi yang sangat mencolok dari lulusannya. jadi hanya sebatas pendidikan dengan segala fasilitas yang mahal. mari kita kembali ke jalan yang benar 🙂
Kepada para kepala SMK RSBI maupun SBI,mari kita wujudkan cita-cita dan harapan penggagas yang sangat mulia ini bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Harus disadari bahwa implementasi dari kelahiran sekolah yang berstatus RSBI telah banyak yang menyimpang karena ketidakpahaman kepala sekolah ataupun dinas pendidikan kab./kota dalam memahami inti persoalan dalam usaha meningkatkan SDM baik siswa maupun gurunya, mereka terjebak pada masalahan pendanaan yang mengkungkung mereka selama ini, sehingga lepas kendali. Bila Kemendiknas mau evaluasi saja hasil kinerja mereka terhadap peningkatan kualitas siswanya, seberapa besar ketersepannya pada DU/DI atau seberapa banyak mereka yang kuliah, kebanyakan sekolah tidak punya datanya kalaupun ada jumlahnya jeblog. maka saya harap yang berwenang bisa menertibkan pihak sekolah yang memberatkan masyarakat. Tertibkan saja seperti Satpol PP menertibkan pengusaha kaki lima yang berdagang bukan pada tempatnya.
everything is fall but failure is base of succesfull. Bagi saya tidak ada yang tidak mungkin untuk mewujudkan sebuah mimpi. mimpi yang pa khalid tentunya menjadi mimpi bangsa ini pula, menjadi sebuah visi yang perlu disiapkan strategi pencapaiannya. semuanya membutuhkan proses, kami tetap optimis untuk bisa menggapainya. syarat mutlak untuk mencapainya, salah satunya dengan merealisasikan 12 janji kinerja dengan penuh tanggungjawab dan tanpa rekayasa!!!pihak manapun. tujuannya outcome bukan output.
Keprihatinan saya lebih dalam, RSBI dituju krn ada dana hibah yg besar disana. Jadi istilah bahasa jawanya “Tangan ngrogoh, sikil njejek!”, semoga bang Khalid tahu artinya…hehehehe… dan hebatnya dana tersebut banyak digunakan utk pengadaan barang yg aneh seperti CCTV di kelas…seolah2 kelas sdh menjadi penjara sehingga perlu pengawasan fulltime. Semoga kedepan RSBI bukan cuma menyandang nama tapi kualitas. “Maju bersama SMK”