Faradina Izdhihary: Surat Terbuka Buat Pringadi, Para Murid, dan Wali Murid

Pagi ini, seperti biasa saat menekuni rutinitas pagi, yaitu membaca email yang berasal dari 108 mailing list, saya tertarik dengan tulisan yang diforward oleh pak Muhammad Ihsan, sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI) di mailing list Klub Guru. Tulisan ini mengingatkan saya kepada tahun-tahun mengajar di Makassar, juga kepada kehidupan beberapa orang guru saya yang amat sederhana.

Masih teringat saat saya mengunjungi rumah beliau-beliau yang sederhana, yang terkadang kursinya-pun sudah robak sana-sini, belum lagi perabotan yang apa adanya, namun semangat mengajar dan semangat berbagi ilmu terlihat amat berkobar di mata mereka.

Disini terlihat jelas bahwa kekurangan materi bukanlah menjadi penghambat kepada profesi mereka untuk mencerdaskan anak bangsa.

Karena tulisan ini amat bagus, maka saya menuliskan ulang pada blog ini disertai tautan ke tulisan aslinya.

SURAT TERBUKA BUAT PRINGADI, PARA MURID, DAN WALI MURID
Dari Seorang Guru tentang Hati Guru

: di notes ISU GAJI PNS NAIK > 100 % Pringadi mengomentari kalau gaji BPK layak besar sebab mereka datang jam 8, pulang jam 5 sore, telat gaj dipotong, sedang guru kalau malas ngajar ngasih tugas muridnya buat ngerangkum.

Mewakili para guru, Pring….. aku menolak, aku tidak terima, sebagai guru rasanya kehormatan kami tertampar. Apalagi kamu menjadi seperti sekarang tak pernah dan tak akan bisa tanpa jasa guru.

Adalah pendapat umum, bahwa pekerjaan guru itu ringan, saat libur sekolah, guru juga libur panjang. Sudahkah Anda melihat dari dekat bagaimana seorang guru yang benar-benar guru menghabiskan berjam-jam waktunya untuk menyiapkan materi pembelajaran, tugas untuk siswa, mengoreksi pekerjaan siswa, dan kemudian menyiapkan perbaikan untuk siswanya. Pekerjaan kami yang itu, tak pernah kami catatakan sebagai lembur yang layak dihargai dengan uang lembur. Apakah ada pekerjaan lain yang dalam pekerjaannya dipenuhi dengan doa-doa untuk orang yang dilayaninya, air mata keprihatinan, rasa cinta kasih yang kuat, dan hubungan silaturrahmi yang tak putus, selain pekerjaan guru? Barangkali ada yang menyisakan jasa tak terputus semisal dokter.

Adalah sangat menyakitkan menggebyah ubyah, menyamakan semua guru dengan knerja yang ditulis oleh Pringadi. Berapa persen jumlah guru yang demikian? Pring… aku yakin, andai pada guru juga diterapkan sistem penggajian yang sangat manusiawi, dan menghargai tingginya nilai ilmu (bandingkan dengan di Singapura, gaji guru tertinggi, jauh lebih tinggi dari bankir atau lawyer sampai masa kerja 12 tahun), maka penerapan punishment yang ketat saya yakin juga akan diikuti kinerja yang tinggi.

Pring… Sayang, pernah kamu tanya berapa gaji guru SD-mu dulu? Pernah kamu tanya, cukupkah mereka hdup layak dan membiayai putra-putri mereka hingga perguruan tinggi? Kita coba hitung-hitungan matematika ya. Kamu kan dulu pernah masuk jurusan Matematika ITB meski cuma setahun, pernah menjuarai olimpiade Matematika (aku berani bersumpah, di situ peran gurumu takkan bisa kau hapus hingga kiamat sekali pun).

Ambil contoh gaji tertingg guru SD mu golongan III -c, sebab banyak guru SD dulu menjadi PNS dgn ijasah SPG. Gajinya kira-kira kalau sekarang ya 2.600.000 gitu ya. Anak dua. Sekolah semua. Anggap biaya kedua anaknya sebulan paling banter 700 ribu (termasuk uang transpot, penggandaan tugas, dsb). Biaya hidup untuk konsumsi sehari-hari per bulan kira-kira 10.000 X 4 orang X 30 hari = 1.200.000. bberart sudah berkurang 1.900.000. Ini belum kehitung bayar listrik, telpon, transport ke sekolah yang kira-kira sebulan mnimal 500.000. Jadi sudah kepotong 2.400.000. Tinggal berapa, Pring? Rp 300.000. Sementara kami mungkin harus membayyar cicilan rumah, sepeda motor bukan untuk bermewah-mewah tetapi benar-benar karena kami membutuhkan.

Jangan salahkan kami, bila di antara kami banyak yang berpikir banyak bagaimana harus menambah penghasilan di luar mengajar? Ini kami yang PNS, bagaimana dengan yang non-PNS. Aapakah kami layak digaji jauh lebih rendah dibandingkan PNS lain hanya karena anggapan kami bekerja seenak sendiri, kinerkja kami rendah, gak berkualitas, atau karena jumlah kami terlalu banyak? Atau karena tanggung jawab kami tak mengandung resiko besar seperti jaksa, polisi, atau bagian perpajakan? Atau karena pekerjaan kami bukan pekerjaan produktif yang menghasilkan keuntungan seperti pertambangan atau perum/BUMN lain?

Sakit sekali rasanya. Bukan… bukan maksud kami menuntut gaji besar, Pring. Andai kamu, pembaca semua, para murid, para orang tua wali murid tahu, betapa kami mengajar dilandasi perasaan cinta yang berlimpah-limpah, disertai doa dan harapan yang bermekaran meski kadang dilipiuti kecemasan atas keberhasilan anak-anak didik kami, Kalian akan mengerti bahwa KEBERHASILAN murid-murid kami adalah BAYARAN TERTINGGI yang tak ternilai bagi kami. Kami cukup bahagia, kami akan bersyukur ribuan kali bila melihat atau mendengar nama murid kami disebut orang, berhasil menjadi sukses dan menjadi orang baik. Demi Allah, saya menangis menuliskan bagian ini.

Jangan salhakan kami semata dengan tuduhan kami tak memiliki kinerja tinggi. Bila pun ada keraguan atas kompetensi kami, seharusnya pemerintah dan masyarakat ikut bertanggung jawab untuk membantu kami meningkatkannya hingga kami mampu memberikan pelayanan terbaik pada para murid. Menjadi ujung tombak dalam menyiapkan generasi muda, penerus perjuangan bangsa yang berkualitas.

Pernahkah Anda berpikir bahwa kami masih terus dan terus butuh untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar kami. Di luar sana, kemajuan teknologi, informasi, melesat-lesat, sedang kami hanya berkutat pada buku-buku paket seadanya. Saat suami saya bertugas di Kalimantan Tengah untuk melakukan verifikasi SD yang mengajukan anggaran pembangunan gedung baru atau pembangunan SATAP(SD smp satu atap), saya menangis mendengar ceritanya, saya tersedu melihat foto-fotonya. Teman-teman guru kami mempunyai tanggung jawab moral sangat besar untuk menyiapkan generasi penerus bangsa, dalam kondisi sangat memprihatinkan, serba kekurangan. Tetapi keikhlasan teman-teman kami itu luar biasa. Banyak yang sudah IV-a ke atas, hampir pensiun, belum mendapat jatah sertfikasi.

(maaf saya terpaksa menangis lagi. Ya Robb, berilah balasan terbaik atas keikhlasan teman-teman guru mengajar di daerah terpencil itu dengan pwrhitungan-Mu yang jauh lebih adil)

Nah… bagaimana mungkin kami mampu meningkatkan kompetensi, misal kuliah lagi, melakukan penelitian, bila dana tak ada. Waktu mungkin bisa ditata, tetapi bila pada saat yang sama kami masih harus memikirkan perekonomian keluarga kami, apakah kami sanggup?

Pring… dan Pembaca yang budiman, sungguh maafkan. Banyak rumor yang beredar bahwa orang yang memilih profesi guru adalah masyarakat kelas dua, yang kemampuan nya kalah jauh dengan mereka yang memilih profesi lain seperti dokter, akuntan, peneliti, teknokrat, dan sebagainya. Lebih tegasnya, yang masuk PTK (perguruan tinggi keguruan) itu anak-anak yang kurang pandai. Mungkin benar. Tapi tak seluruhnya. Masih banyak juga yang memilih jadi guru karena panggilan nurani. Mengapa? Sebab gaju guru tak segede gaji profesional lainnya. Menyedihkan sekali.

Bila saja, profesi guru dihargai seperti di Singapura atau Malaysia atau negara lain, maka anak-anak pandai, high quality akan berbondong-bondong masuk PTK, dan kelak akan muncul guru-guru yang hebat. Tapi beranikah dan mampukah pemerintah mengambil kebijakan ini? Saat kuliah di NTU Singapura (berkat beasiswa PMPTK dan BPKLN, terima kasih untuk kedua lembaga tersebut), saya mendengar, bahkan berbincang-bncang langsung dengan beberapa bankir dan lawyer yang memilih pindah profesi jadi guru. Disini mana ada, yang ada malah sebaliknya sebab gaji guru ya demikianlah adanya.

sungguh, sekali lagi, tulisan ini tak hendak dan tak ingin memberontak apalagi menuntut gaji kami para guru, dinaikkan sejajar dengan gaji PNS di perpajakan atau kejaksaan. Alhamdulillah kami lebih terjaga dan aman dari godaan korupsi karena memang tak ada yang bisa kami korupsi. Kalaupun ada itu adalah waktu. Bahkan untuk menjual LKS yang sangat dibutuhkan oleh siswa, seringkali kami dapat protes dari orang tua. Padahal LKS 1 buku maksimal 10.000, masa pembayaran satu semester 6 bulan, kami biasanya harus melunasi dulu di awal. Berapa sih keuntungan kami bila dibandingkan dengan kewahjiban kami melunasinya, belum terhitung siswa yang tidak membayar dengan berbagai alasan. Tak jarang kami berikan buku itu cuma-cuma.

Pringadi, Sayang….aku jadi ingat gurauanku dengan beberapa teman saat hari guru, sambil mentertawakan nasib Oemar Bakri, kami meringis mendengar hymne guru. Pantas nasib guru melas, wong hymnenya saja melas. Maka sambil bergurau, kami berseloroh, ganti ya hymnenya , “Guru juga manusia…..” dengan gaya ngerok gitu deh.

Penutup tulisan ini, selalu ingatlah salah satu kunci keberhasilan menuntut ilmu yang diajarkan oleh guru TK-mu, “Hormati gurumu, sayangi teman…..,”

Untuk rekan guru, saya percaya sepenuhnya, seperti juga saya menjalankan tugas keguruan saya, menjadi guru adalah pilihan, panggilan hati. Insya Allah gaji yang kita terima itu berkah, dan Allah akan mencukupkan. Bukankah kita seringkali masih harus sangat bersyukur meskipun juga sambil menangis bila membandingkan nasib kita dengan teman-teman guru non-PNS?

Namun, bila saya tulis sebuah kesaksian, teman SMA saya bapak dan ibunya adalah guru SD, keduanya PNS. Namun ketiga anaknya hanya berpendidikan sampai SMA sebab tak cukup biaya untuk menguliahkan. Mereka butuh kredit rumah dan sepeda motor. Adakah yang mau merenungkan betapa kami para guru bekerja sepenuh kemampuan pikiran dan tenaga, juga doa-doa dan cinta untuk para murid (anak orang lain), namun di sisi lain kami harus meringis sebab anak-anak kami tak mampu mengenyam pendidikan tinggi seperti yang kami ajarkan pada murid-murid kami????

Addition, bukan rahasia bila di antara kami mampu menguliahkan anak-anak kami, karena kami menyekolahkan SK kami ke BRI, BNI, atau Mandiri? hehehe coba siapa yang tidak melakukannya? Angkat tangan teman-teman…?

Tulisan asli dapat dilihat pada: http://www.facebook.com/note.php?note_id=382431954690&id=1348643888&ref=nf

This entry was posted in Pendidikan and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

1 Response to Faradina Izdhihary: Surat Terbuka Buat Pringadi, Para Murid, dan Wali Murid

  1. istiomah (Ummu faradina izdhihary) says:

    makasih telah share tulisan saya. saya sunuh tak menanka tulisan ini ternyata nyebar banget ya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.