Kebebasan yang tak membebaskan

 

Kemarin, sewaktu workshop Multikampus ITB, ada ungkapan menarik yang disampaikan oleh Pak Budi Isdianto dari LPPM ITB yang menyebutkan “Sewaktu SD, ada pelajaran menggambar bebas yang diajarkan oleh guru-guru kita. Nah, tujuannya adalah agar anak-anak “bebas” mengekspresikan ide-ide mereka dan melatih agar mereka menjadi insan yang kreatif. Namun, tanpa disadari, justru hal tersebut malah menjadikan mereka bingung.”

Loh, kok bisa ?

“Coba kita ingat, sewaktu pelajaran tersebut diberikan, maka anak-anak cenderung untuk menggambarkan sesuatu yang telah pernah berhasil mereka gambar. Jadi, anak yang suka dengan bunga, hanya menggambar bunga. Juga anak yang pernah dan suka menggambar mobil, hanya menggambar mobil. Justru hal inilah memasung kebebasan itu.”

“Yang seharusnya adalah, mereka diberikan sebuah kasus dan dibatasi dengan hal-hal tertentu, pencapaian tujuan itulah yang dibebaskan kepada mereka, sehingga mereka menjadi kreatif dengan sebuah tujuan yang jelas.”

Saya cukup tertegun dengan ungkapan ini, dan membenarkan dalam hati, mungkin inilah penyebab anak-anak kita justru tidak kreatif dan cenderung meniru, karena sejak kecil justru tidak diarahkan dengan baik.

Juga, dalam konteks demokrasi, muncul prinsip “kebebasan tanpa batas” padahal mereka lupa, bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

This entry was posted in Pendidikan and tagged . Bookmark the permalink.

0 Responses to Kebebasan yang tak membebaskan

  1. dobelden says:

    hmmm…. bebas tp tidak bebas ya pak? konsep filsafat 😀
    ato mungkin kebalikan kebebasan dari ketidak bebasan….

    apa jd semakin dalamnya salah kaprah dalam pendidikan anak usia produktif ?

  2. Arman Idris says:

    Saya setuju dengan point tujuan dibatasi namun cara mencapai kesana yang tidak dibatasi, sebagai contoh di dunia pendidikan informatika misalnya, tidak perlu mengajarkan produk tapi diajarkan konsep terserah mo pake produk yang mana yang penting selesai masalahnya misalnya membuat dokumen, spreadsheet, presentasi atau yang lebih ekstrim program misalnya, terserah mo pake bahasa apa, mau interpreter atau kompiler yang penting tujuan akhirnya tercapai membuat sebuah program.

  3. agusampurno says:

    Sepertinya kaum pengajar dulu yang harus disamakan dulu persepsinya tentang kebebasan anak dalam berekspresi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.